Anak itu selalu duduk di bawah pohon Maunel. Menengadahkan kepala ke atas, memandang langit biru yang kosong melompong. Kadang tanpa awan, hanya warna biru muda. Akupun bingung, apa yang menarik dari langit itu hingga ia memandanginya setiap hari. Ia diam tak bersuara, kadang ada sebuah senyuman timbul di wajahnya. Aku memang tidak pernah tau apa yang ia nanti dan apa yang ia rasakan. Setiap tanda-tanda di wajahnya. Kelakuan anehnya itu, terkadang membuatku menyelisik. Apakah ada kepingan pesan yang ingin ia sampaikan tentang kebenaran dan perasaannya.
Ia yang sikapnya tak tertrawang, hingga ia di tangkap sunyi. Di kucilkan. Karena reaksi orang-orang yang tak mengerti menganggapnya gila. Dan mereka seperti itu karena takut. Tapi anak yang mendaki sebuah bukit hanya untuk berdiam dan bersemedi itu tak gentar. Menjadi rekan sang sunyi memang keinginanya. Setiap hari ia bersila sempurna, memandangi langit dalam diam. Sejujurnya terkadang aku memandangnya sebagai anak yang tak waras, sama seperti orang lain. Di sudut mata beningnya yang berkilat-kilat itu aku meragu. Mata orang gila pikirku. Tapi terkadang ada satu hal yang muncul berseru. Ketidak tahuan akan menumbulkan prasangka buruk. Mendadak rasa penasaran itu mengambil alih pikiranku, menggerakkan tubuhku dan membuatku berkata.
“Kamya, sebenarnya apa yang hendak kau lakukan dengan bersila memadangi langit seperti itu?” kupilih lengan kananku. kubawa ia naik perlahan. Lengan itu terangkat menunjuk tubuh kakak dengan gerakan yang halus. Dengan telapak tangan menghadap langit. Tapi sosok itu terdiam. Diamnya seperti tak ada udara yang hilir muduk di kedua paru-parunya. Ia layu, pucat. Namun wajahnya seperti orang yang takjub.